
Penggunaan anyaman bambu
sebagai bahan dasar pembuatan dinding rumah dewasa ini sudah jarang
ditemui. Saat ini anyaman bambu lebih banyak dimanfaatkan sebagai hiasan
interior untuk beberapa tempat seperti rumah makan maupun café.
Bentuknya yang unik dan memiliki sentuhan karya seni menjadikan produk
anyaman bambu menarik digunakan sebagai penghias ruangan. Peluang itulah
yang masih dipertahankan oleh Bapak Sutimin (55) yang setia menekuni
produksi aneka kerajinan anyaman bambu berbagai motif sejak usia remaja.
Ditemui di rumahnya Selasa (5/3), Pak Sutimin mengaku sudah mulai
menjalankan produksi anyaman bambu sejak tahun 1970. Saat itu Sutimin
muda mencoba hidup mandiri dengan memanfaatkan banyaknya bambu di
sekitar tempat tinggalnya Tapen, Argosari, Sedayu, Bantul. Berbekal
naluri yang dimilikinya, Sutimin muda mencoba mengkreasi bambu-bambu
tersebut menjadi sebuah produk yang bisa dijual. “Awal mulanya memang
masih bingung mau dibuat apa karena saya tidak punya ketrampilan
apa-apa,” terang Pak Sutimin. Setelah berjalan beberapa waktu, beliau
mantap untuk menekuni dan memproduksi anyaman bambu menjadi produk
dinding atau
gedheg (dalam Bahasa Jawa).

Sejak saat itulah, Pak
Sutimin mulai dikenal sebagai produsen anyaman bambu yang memiliki motif
bervariasi. Dengan ataupun tanpa adanya pesanan, Pak Sutimin rutin
berproduksi dengan dibantu empat orang putra-putrinya. “Untuk
menghasilkan satu buah dinding anyaman ukuran (2 x3)m bisa melibatkan 3
orang dan memerlukan waktu produksi beberapa hari,” kata Pak Sutimin
tentang proses produksinya. Pak Sutimin berujar jika selama ini bahan
baku beliau datangkan dari Kulonprogo, namun tidak jarang mengambil
bambu yang ada di sekitar rumahnya. Dalam sekali ambil, Pak Sutimin
biasanya membeli 250 batang bambu (1 rit) dengan harga per batangnya
Rp.10.000,00.
Untuk menghasilkan anyaman bambu yang berkualitas, maka bahan baku
yang digunakan juga tidak sembarang bambu. Selama ini Pak Sutimin
menggunakan bambu wulung karena memiliki motif yang bagus. Namun dengan
harga bahan baku bambu wulung yang semakin melambung, Pak Sutimin
mengaku sering berhenti berproduksi karena ketiadaan modal
bisnis. “Saat ini memang serba sulit, dengan harga
bahan baku yang mahal, untuk menaikkan harga produk juga susah karena
pelanggan kebanyakan minta harga yang rendah,” keluh Pak Sutimin kepada
tim liputan
bisnisUKM.

Meskipun begitu, semangat untuk
memproduksi masih dimiliki Pak Sutimin. Terlebih saat ini beliau tidak
hanya piawai dalam membuat anyaman bambu saja, namun sudah bisa membuat
aneka kursi, meja, eternit, tempat tidur, tirai, dan produk lain yang
masih berbahan baku bambu. Produk-produk tersebut dijual dengan harga
yang terjangkau, antara lain gedheg kasar (2×3)m aten harganya
Rp.40.000,00; gedheg hitam/ motif (2×3)m harganya Rp.90.000,00; kursi
satu set (4 kursi, 1 meja) harganya Rp.300.000,00; dan untuk eternit
bambu harganya Rp.70.000,00/ meter.

Diakui Pak Sutimin, ketika rutin
berproduksi beliau hanya memperoleh omzet Rp.30.000,00 per hari dengan
keuntungan bersih 50%. Meskipun tergolong kecil untuk sebuah kreasi yang
sangat menarik, namun Pak Sutimin tetap bersyukur dan akan terus
memproduksi aneka produk bambu selagi masih mampu. Beliau juga tidak
takut menghadapi persaingan produk sejenis yang marak di pasaran.
Menurutnya, ada beberapa produknya seperti eternit yang menjadi unggulan
dan sulit diduplikasi. “Saya justru bersyukur ketika banyak produk kami
yang ditiru, berarti produk kami tersebut termasuk menarik dan
memberikan inspirasi bagi orang lain,” jelas bapak yang hidup bersahaja
tersebut.
Diakhir wawancara, Pak Sutimin yang ditemani putra sulungnya Miswanto
mengatakan untuk menjadi seorang yang sukses dalam
usaha dibutuhkan sebuah ketekunan, ketelatenan, dan
kerja keras. Apapun hasil yang nantinya diperoleh patut disyukuri karena
itu hasil kerja keras kita dan tidak semua orang mampu melakukannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar